Minggu, 11 Maret 2012

Pertentangan Sunda dan Jawa

Ane sebagai orang Jawa pernah dinasehati oleh leluhur utk tidak menikah dengan orang Sunda, dan ternyata ga cm ane yang pernah dapet nasehat seperti itu. tapi banyak teman-teman ane juga pernah mendapat nasehat serupa. Sebenarnya apa alasannya kenapa isu yang menjurus sara ini begitu santer? Bahkan mungkin juga sebaliknya kali ye? mungkin agan-agan yang keturunan Sunda juga pernah dapet nasehat utk tidak menikah dengan orang Jawa?
Coba deh kalian amati baik-baik, kalian tdk akan pernah menemukan NAMA JALAN atau GEDUNG2 di Bandung dng nama2 toko dari kerajaan Jawa Timur, terutama Majapahit... seperti GAJAH MADA, HAYAM WURUK.. dll
padahal nama jalan tersebut laiknya banyak digunakan utk jalan2 protokol di semua kota di Indonesia.....
Bukan utk tp bagaimanapun ini adalah kenyataan sejarah yang msh dibawa sampai sekarang.... meski ane yakin anak2 muda jaman sekarang udah ga mikirin hal beginian lg..

Jawabannya mungkin adalah karena PERANG BUBAT

Cerita bermulai ketika Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang saat itu sedang melaksanakan Sumpah Palapa. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada tahun 1357 M. Pernikahan Hayam Wuruk Peristiwa ini diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan raja Hayam Wuruk terhadap putri Citraresmi karena beredarnya lukisan putri Citraresmi di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, Sungging Prabangkara. Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Di mana Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit adalah keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal yang bersuamikan Rakeyan Jayadarma menantu Mahesa Campaka. Rakeyan Jayadarma sendiri adalah kakak dari Rakeyan Ragasuci yang menjadi raja di Kawali. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Di mana dalam Babad Tanah Jawi sendiri, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran.


Dengan demikian Prabu Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar putri Citraresmi. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Sebenarnya dari pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri keberatan, terutama dari Mangkubuminya sendiri, Hyang Bunisora Suradipati karena tidak lazim pihak pengantin perempuan dating kepada pihak pengantin lelaki. Suatu hal yang dianggap tidak biasa menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik karena saat itu Majapahit sedang melebarkan kekuasaan (diantaranya dengan menguasai Kerajaan Dompu di Nusatenggara). Namun Maharaja Linggabuana memutuskan tetap berangkat ke Majapahit karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua Negara tersebut. Maharaja Hayam Wuruk sebenarnya tahu akan hal ini terlebih lebih setelah mendengar dari Ibunya sendiri Tribhuwana Tunggadewi akan silsilah itu. Berangkatlah Maharaja Linggabuana bersama rombongan ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat

Kesalahpahaman Gajah Mada Mahapatih Gajah Mada (dalam tata Negara sekarang disejajarkan dengan Perdana Menteri) menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat merupakan suatu tanda bahwa Negeri Sunda harus berada di bawah panji Majapahit sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah dia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Gajah Mada mendapatkan jabatan Mahapatih atas karirnya militernya di Majapahit, beliau mengawali karirnya sebagai prajurit pada kesatuan pengawal kerajaan Bhayangkara yang merupakan pasukan elit Majapahit. Beliau mendesak Raja Hayam Wuruk untuk menerima Putri Citraresmi bukan sebagai pengantin tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Maharaja Hayam Wuruk sendiri bimbang atas permasalah itu karena Gajah Mada adalah Mahapatih (Perdana Menteri) yang diandalkan Majapahit saat itu. Gugurnya Rombongan Pengantin Kemudian terjadi Insiden perselisihan antara utusan dari Maharaja Linggabuana dengan Mahapatih Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Mahapatih Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit bukan karena undangan sebelumnya. Namun Mahapatih Gajah Mada tetap dalam posisi semula. Belum lagi Maharaja Hayam Wuruk memberikan putusannya, Mahapatih Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke pesanggrahan Bubat dan mengancam Maharaja Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Maharaja Linggabuana menolak tekanan itu, dan terjadilah peperangan yang tidak seimbang yang melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan pasukan yang besar dengan Maharaja Linggabuana dengan pasukan Balamati pengawal kerajaan yang berjumlah sedikit, bersama pejabat kerajaan dan para menteri yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Maharaja Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan serta Putri Citraresmi. Maharaja Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali-yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan perikahan antara maharaja Hayam Wuruk dengan putri Citraresmi-untuk Nyaangan Alam Dunya menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi Pejabat Sementara Raja Negeri Sunda serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Namun akibat peristiwa Bubat ini (mungkin dalam dunia politik sekarang dikatakan Skandal Bubat), dikatakan dalam suatu catatan bahwa Hubungan Maharaja Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat mahapatih sampai wafatnya (1364).
(Sumber- Yoseph Iskandar, "Perang Bubat", Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987)
sekedar catatan: Kanjeng Gusti Putri ratu Dyah Phytaloka Citraresmi meninggal tidak dengan bunuh diri melainkan ikut bertempur dan berhasil melukai mahapatih Gajah mada, sehingga akibatnya pertempuran bertambah sengit, sebab Gajah Mada Berduel dengan sang Putri Dyah Phytaloka, meskipun akhirnya gugur, Sang Putri berhasil melukai Tubuh gajah mada dengan Keris Singa barong berlekuk 13 Keris leluhur Pasundan peninggalan pendiri kerajaan tarumanegara, yang bernama, Prabu Jayasinga Warman. akibat luka itu, Gajah Mada menderita sakit yang tidak Bisa disembuhkan sampai akhir hayatnya.

Kejadian di pesanggrahan Bubat tersebut, tidak menghasilkan keuntungan apapun, tidak sesuai dengan perkiraan semula Mahapatih Gajah Mada, bahkan sebaliknya hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dengan Maharaja Hayam Wuruk menjadi renggang, dengan kesatria sebagai pertanggungjawaban atas kesalahannya Mahapatih Gajah Mada mengundurkan diri sebagai Mahapatih dan mengasingkan diri di sebuah desa yang sekarang bernama desa Mada dan beliau juga harus menderita luka akibat sabetan keris Putri Dyah Pitaloka, inilah akibat yang ditanggung oleh beliau dihari tuanya sampai akhir hayat akibat hawa nafsu yang beliau ikuti. Hubungan antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda menjadi renggang bahkan sudah tidak dapat disatukan kembali, seperti kaca yang sudah pecah. Kerajaan Sunda sudah tidak mempercayai kembali pihak kerajaan Majapahit, walaupun Maharaja Hayam Wuruk telah mengirimkan wakilnya untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Hyang Bunisora Suradipati mewakili pihak kerajaan Sunda. Sampai akhirnya kerajaan Sunda memberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda. Sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah larangan menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

SUMMARY:
Sebenarnya ada berbagai versi cerita mengenai perang bubat, karena sampai saat ini masih simpang siur mana cerita yang benar. akan tetapi yang harus kita pahami dan sadari adalah ambisi, rasa curiga yang berlebihan, dan pengkhianatan bisa menghancurkan persaudaraan, bahkan sampai turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya bisa saja masih saling menyimpan 'dendam'.

Semoga sebagai sesama warga Indonesia kita bisa saling menjaga tali persaudaraan kita, tak kenal suku, etnis, ras, dan agama. SATU HATI, untuk SATU INDONESIA

sumber: Kaskus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar